Senin, 17 Januari 2011

NURIYANI, TAK PERNAH LETIH MEMOTIVASI SISWA


Oleh Vania Williany

Senja belum juga merapat di ufuk barat desa Karangkobar, pada hari keenam bulan Januari awal tahun ini. Kawasan jalan raya depan pasar yang menjadi pusat keramaian desa ,masih disibukkan oleh kendaraan roda dua yang berlalu- lalang. Di sebuah rumah berukuran cukup besar yang terletak di pinggir jalan raya, tepat di belakang toko Maju itulah, Nuriyani tinggal selama mengabdi sebagai seorang guru. Ia telah menetap di sana cukup lama, semata untuk mengabdikan diri sebagai salah seorang pahlawan tanpa tanda jasa, dengan menyewa sebuah kamar kos. Ia tinggal berdua dengan sang pemilik rumah yang tak lain adalah teman karibnya sejak dahulu. Nuriyani tampak sibuk senja itu, dengan potongan-potongan kertas koran yang berserakan di meja ruang tamu.

“Silakan duduk, saya sambil nyambi ya,” ujar Nuriyani sembari tersenyum ramah. Ia tampak asyik menggunting potongan kertas koran dan majalah, kemudian menyusunnya dengan rapi di halaman- halaman sebuah buku. “Beginilah kalau ibu guru sedang ada kesempatan, lumayan, saya bisa mengerjakan hobi mengumpulkan kliping masakan seperti ini,” wanita yang lahir di Blora ini menjelaskan. Maklum, pada hari-hari awal masuk sekolah di semester genap SMP Negeri 1 Karangkobar, Nuriyani belum begitu disibukkan oleh tugas-tugas dari instansi pendidikan tempat beliau bekerja tersebut.

Tak lama, wanita bernama lengkap Siti Nuriyani ini bersedia untuk berbagi cerita mengenai berbagai pengalaman yang beliau dapatkan selama kurang lebih dua puluh tahun bekerja sebagai seorang pendidik. “Saat ini saya mengajar mata pelajaran IPS di SMP Negeri 1 Karangkobar,” ucapnya. “Saya mengawali karir dengan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan dari Universitas Surabaya, lulus tahun 1989. Yah, saya ini sudah tua juga, sebaya dengan ibumu,” Nuriyani bergurau. Ketika ditanya mengenai awal mula mengapa beliau berminat menjadi seorang guru, beliau pun berkisah. “Alasan saya memilih menjadi seorang guru, begitu kan? Hm, sebenarnya saya dipaksa. Ya, awalnya saya dipaksa oleh keluarga, barangkali. Haha,” Nuriyani tertawa. “Karena dahulu mbah putri saya kanseorang guru SD, orangtua kemudian mengarahkan saya untuk menjadi seorang guru, kira- kira seperti itu. Bapak saya sendiri seorang TNI Angkatan Laut. Walaupun begitu seluruh keluarga mendukung kok saya bekerja menjadi seorang guru,” lanjutnya lagi. Kedua mata beliau menerawang mengenang cita- cita masa kecilnya. “ Sebenarnya cita- cita awal saya adalah, saya ingin, menjadi seorang jaksa. Ingin sekolah hukum, di Unair Surabaya. Tetapi tidak kesampaian, ya sudahlah tidak apa- apa. Itu cita- cita saya dahulu. Kalau sekarang saya sudah senang menjadi guru, saya menikmati sekali pekerjaan saya ini,” lanjut Nuriyani lagi.

Lebih jauh, Nuriyani yang lahir di Blora pada 31 Januari 1966 ini, memaparkan suka duka beliau menjadi seorang tenaga pendidik. “Sukanya… wah menurut saya, menjadi seorang guru itu senang terus, deh! Tidak ada dukanya!” serunya cepat. Raut wajah beliau berbinar- binar. Tampak jelas bahwa beliau benar- benar mencintai profesi guru yang ditekuninya selama ini. “Yah.. Senang terus menjadi seorang guru karena setiap tahun muridnya selalu berganti, jadi untuk diri saya pribadi, saya tak pernah bosan dalam mengajar mereka. Saya senang berinteraksi dengan anak- anak yang perilakunya bermacam- macam. Ada yang baik, yang rajin, pinter, nakal, bandel, malas, ah macam- macam sekali. Jadi mengajar mereka itu merupakan satu pengalaman yang menyenangkan untuk saya, karena sebagai guru, kita, dituntut harus bisa mendidik mereka dengan baik,” sambil tersenyum beliau berkata. “Dukanya.. Paling kalau ada murid yang nilainya di bawah KKM (ketuntasan kompetensi minimal) lalu saya minta mereka untuk ikut remidi. Nah, sudah diremidi berkali- kali itu nilainya nggak tuntas-tuntas. Wah, saya kadang jadi bingung mengatasinya bagaimana, karena mereka itu sebenarnya bisa, hanya malas belajar saja. Bahkan ada pula siswa yang malas datang siang- siang buat ikut remidi sampai berani membolos. Itu yang terkadang bikin saya capek,” Nuriyani kembali tertawa ketika mengungkapkan pengalaman berkesan yang pernah beliau  rasakan dalam mendidik para siswa.

Meskipun Nuriyani mendapatkan tugas dinas pertama sebagai guru di Surabaya, namun pada tahun 1996, beliau hijrah ke SMP Negeri 1 Karangkobar untuk meneruskan pekerjaannya sebagai pengajar. Lho, bagaimana ini, Bu, sudah enak- enak mengajar di kota,kok mau-maunya Anda dipindahtugaskan untuk mengajar di desa seperti Karangkobar? Pertanyaan seperti ini muncul setelah mendengar perjuangan Nuriyani yang tak mudah untuk menggapai cita- citanya  menjadi pendidik andal. “Alasan saya pindah dinas di sini sebenarnya karena mengikuti kepindahan suami ke Karangkobar. Sebagai Pegawai Negeri suami saya mendapat tugas penempatan dari tingkat provinsi untuk beliau bekerja di wilayah ini,” begitulah penjelasan beliau. Kepindahan beliau ke Karangkobar ternyata  semata- mata demi tujuan mengabdi. Konsekuensi yang harus beliau ambil untuk mencerdaskan putra- putri bangsa. Nuriyani mengungkapkan, dengan keputusan beliau bertahan untuk mengajar di SMP Negeri 1 Karangkobar, segala risiko harus rela beliau jalani, Termasuk untuk berpisah dengan keluarga tercinta. “Dahulu anak- anak juga ikut kami, mereka pindah sekolah kemari. Kami sekeluarga tinggal bersama cukup lama. Kemudian anak- anak mulai besar, Saya rasa mereka butuh pendidikan yang lebih bagus. Untuk itu kami memutuskan, anak- anak pindah bersekolah di luar kota. Kami menginginkan mereka dapat mengenyam pendidikan di tempat yang memiliki mutu  yang lebih baik,” kenang Nuriyani. Sekarang kedua putra beliau sedang melanjutkan pendidikan mereka, salah seorang di antaranya sedang bersekolah di Salatiga, yang lainnya kini bersekolah di Ungaran. “Suami saya di Semarang, sekarang bekerja di sana,” ungkap Nuriyani lagi.

Tinggal berjauhan dengan keluarga tak membuat Nuriyani berhenti berjuang untuk memajukan pendidikan di sekolah tempat beliau membagi ilmu pada siswa tercinta, saat ini. Justru beliau semakin bersemangat untuk memberikan pelayanan pendidikan yang terbaik bagi seluruh peserta didik. Beliau mengakui, para siswa yang beliau asuh  di SMP Negeri 1 Karangkobar memiliki karakter yang agak berbeda apabila dibandingkan dengan siswa di daerah perkotaan. “Ya, memang keadaan di sekolah ini , bisa dibilang di sini termasuk wilayah pedesaan, seperti itulah adanya. Input siswa di sekolah ini tidak sama. Karakter siswa berbeda kalau dibandingkan dengan “anak kota”, yang rata- rata sudah merasa dirinya benar- benar menjadi seorang siswa, memiliki tanggungjawab untuk belajar. Karakteristik siswa di sekolah ini lebih beragam. Biasanya karakter mereka terbentuk dari latar belakang keluarganya, juga turut dipengaruhi oleh latar belakang lingkungan,” tegas beliau. Perbedaan karakter masing- masing siswa inilah yang membuat etos belajar para siswa juga berbeda- beda. Beliau memberi beberapa contoh. “Di sekolah ini ada siswa yang orangtuanya bekerja sebagai petani, ada pula yang orangtuanya pegawai, atau punya bisnis alias wiraswasta, yah, variatif sekali. Latar belakang pekerjaan orangtua mereka ikut mempengaruhi cara belajar dan minat siswa untuk belajar. Misalnya, ada siswa yang orangtuanya seorang pekerja kasar dan tinggal di desa. Sebagai orangtua, mereka masih berpikir sempit,  dengan asal menyekolahkan anaknya saja, tetapi kurang mengawasi perkembangan anak dalam belajar. Anak jadi kurang bersemangat untuk belajar karena orangtuanya sendiri kurang memberikan dukungan. Orangtua mereka berpikir, asal tamat SMP, sudah pernah mengenyam pendidikan menengah, sudah lebih baik dari pendidikan orangtua, itu selesai. Kalau ada biaya oke,lanjut sekolah menengah atas, kalau  tidak ada biaya ya tak bisa lanjut, sudah begitu. Pikiran seperti itu sebetulnya menghambat minat mereka untuk belajar. Di sinilah guru berperan untuk mendukung perkembangan belajar mereka, memberi masukan, serta semangat pada siswa agar siswa itu mau terus belajar, mau dan terus memiliki minat yang tinggi untuk maju. Sekolah juga memberikan pengertian pada orangtua dalam pertemuan khusus, ketika pembagian raport misalnya. Agar mereka senantiasa memantau perkembangan pendidikan putra- putri masing- masing. Kami mencoba menjelaskan bahwa pendidikan itu adalah suatu hal yang sangat penting, yang kelak akan mengantar siswa kami berhasil meraih cita- cita,” Nuriyani menjelaskan panjang lebar, “Di sisi lain, ada pula orangtua siswa yang sudah mengerti pentingnya pendidikan untuk putra- putri mereka, sehingga mereka sudah mulai memantau perkembangan prestasi anaknya. Biasanya orangtua yang bekerja swasta atau pegawai yang rata-rata juga sudah punya dasar pendidikan yang bagus, gelar dari Perguruan Tinggi, misalnya, yang sudah dapat mengarahkan putranya agar dapat belajar sebaik mungkin. Kami juga terus mendorong mereka untuk senantiasa menjaga prestasi dan lebih bersemangat lagi dalam mengembangkan potensi diri,” tambah Nuriyani.

Berbicara soal potensi masing- masing siswa SMPN 1 Karangkobar, Nuriyani kembali menegaskan bahwa sebenarnya seluruh siswa di SMP Karangkobar mempunyai potensi yang sama dengan siswa- siswa di sekolah- sekolah lain untuk bisa mengembangkan diri. Satu poin penting ditekankan betul- betul oleh beliau, “Mereka masih sangat butuh motivasi. Motivasi inilah yang kita, para guru, harus benar- benar, terus berikan. Motivasi dari para guru sangat penting untuk memajukan siswa.”

Mengenai cara pembelajaran yang beliau terapkan selama mengajar, Nuriyani memiliki beberapa strategi khusus. “Jujur saja, cara mengajar yang saya terapkan dalam membimbing para siswa tidak manut teori atau kurikulum yang disusun Pemerintah saat ini. Kalau cara mengajar saya manut kurikulum satuan pendidikan, ya tidak bisa, bubrah kabeh, (rusak semua, red.), tidak jadi semua,” lagi- lagi senyuman terlukis di bibir Nuriyani. “Menurut kurikulum yang didesain oleh Pemerintah, saat ini guru hanya mendampingi siswa, sebagai fasilitator, begitu. Guru hanya memberi tugas, anak mengerjakan tugas tersebut secara mandiri dari sumber- sumber yang mereka cari sendiri. Cara itu kurang tepat jika diterapkan pada siswa didik saya. Lingkungan belajar di sini kurang mendukung. Siswa masih malas untuk membaca materi secara mandiri. Harus disuruh guru lebih dahulu,” ungkapnya. Mau tak mau, Nuriyani harus membimbing mereka secara perlahan- lahan. “Saya melakukan cara pengajaran tradisional. Saya menerangkan lebih dahulu materi pelajaran secara keseluruhan, siswa mendengarkan, sampai seluruh siswa mengertiApabila ada pertanyaan dari siswa, saya jawab sampai semuanya jelas, barulah saya memberikan tugas kepada siswa. Kalau menerapkan kurikulum, materi jelas tidak bisa selesai,” ujar Nuriyani.

Perjuangan Nuriyani beserta dewan guru di SMP Negeri 1 Karangkobar kini mulai membuahkan hasil. Terbukti, sejak dua tahun lalu, SMP Negeri 1 Karangkobar telah sukses menyandang gelar “Sekolah Standar Nasional” (SSN), dan menjadi salah satu sekolah berprestasi yang sering menyabet berbagai kejuaraan di tingkat Kabupaten Banjarnegara. “Puji syukur kepada Tuhan, gelar SSN kini berhasil kami raih, karena kelulusan siswa 100% selama beberapa tahun berturut- turut. Ini suatu kebanggaan bagi kami, keluarga besar SMP Negeri 1 Karangkobar,” jelas beliau. Pengabdian Nuriyani yang tanpa henti memang pantas mendapatkan acungan jempol. Namun beliau tak ingin tinggi hati, “Hal terindah, yang kami, para guru rasakan, adalah jika para siswa dapat menyerap ilmu yang kami berikan. Itu menjadi kebanggaan yang luarbiasa bagi kami. Sebagai guru, sudah menjadi tugas kami untuk mentransfer ilmu kepada mereka. Pendidikan yang berhasil, menurut saya, adalah apabila para siswa menerima ilmu dengan baik dan mereka tidak menyia- nyiakan ilmu yang telah mereka dapat. Jika para siswa mampu mengerti dan mengaplikasikan ilmu yang telah mereka terima, maka saya yakin, mereka akan menjadi insan- insan luhur di kemudian hari,” demikian pendapat beliau.

Nuriyani menutup wawancara dengan berbagi kisah mengenai pengalaman menarik yang pernah beliau alami bersama mantan-mantan muridnya, alumni SMP Negeri 1 Karangkobar. “Saya memiliki beberapa murid yang dahulu terkenal “bandel” waktu masih jadi pelajar. Beberapa tahun berikutnya, saya melihat mereka menyapa saya. Mereka telah menjadi orang yang berhasil. Ada yang sudah selesai S2 dan menjadi dosen, ada pula yang sukses berwirausaha. Rasanya senang sekali ketika melihat murid- murid saya dapat meraih kesuksesan. Itu suatu kebahagiaan terindah buat saya, sebagai guru,” ungkapnya menahan haru. Nuriyani kembali melanjutkan, “Ada pula sebagian murid saya yang tidak dapat melanjutkan sekolah, ada pula yang setelah menamatkan SMP sudah langsung bekerja. Sebagai guru, saya merasa sedih melihat keadaan mereka. Namun ketika saya melihat ada satu semangat di mata mereka, saya tetap merasa bangga terhadap mereka. Bagaimanapun, sebagai seorang guru saya selalu mendoakan yang terbaik untuk keberhasilan seluruh siswa saya.”

Kerja keras Nuriyani sebagai seorang guru memang patut kita teladani. Meskipun harus hidup terpisah dengan keluarga, beliau tak pernah letih dalam mengajar dan memotivasi siswa. Semangat beliau tak pudar, malah sebaliknya semakin berkobar untuk tetap bertahan mengabdikan diri demi kemajuan para siswa yang beliau cintai. “Meskipun saya terkadang merasa sedih dan rindu pada keluarga, saya tetap bersemangat untuk mengajar di Karangkobar. Saya ingin anak- anak di sini semakin dapat menikmati pendidikan yang lebih baik,” Nuriyani mengakhiri wawancara dengan senyuman manisnya.

4 komentar:

  1. kalo siswa nya yg letih di motivasi Nuriyani pie vann?? :D

    BalasHapus
  2. Saya suka tulisanmu, Vania. Struktur tulisannya jelas dan banyak informasi menarik yang kamu masukkan di sana. Hanya saja, kutipan yang terlalu banyak dan panjang membuat pembaca agak kelelahan. Akan lebih baik kalau kalimat-kalimat kutipan itu kamu olah lagi dengan kata-katamu sendiri...

    BalasHapus
  3. Oh, iya ada lagi... Ada beberapa paragraf yang terlalu panjang dan bisa dibagi menjadi beberapa paragraf lagi. Tiap2 paragraf itu memang memuat ide yang sama. Tapi tetap bisa dibagi2 lagi agar yang membaca tidak kelelahan...

    BalasHapus
  4. aku g terlalu banyak koment, tapi menurutku ini suatu awal yang baik. kedepannya kamu tinggal mengembangkan bagaimana menulis kalimat yang efektif aja.

    BalasHapus