Sabtu, 05 Februari 2011

REJEKI PARA PENGAYUH RODA TIGA


Oleh: Rinaldus Beatus Jo

Saya ingin terus berusaha mengayuh meskipun terkadang untuk membeli makan sehari saja tidak cukup. Semoga pemerintah dapat melihat penderitaan ini dan bukan hanya sekedar itu saja tetapi mampu memberikan bantuan untuk mengatasinya”

           Begitulah ujar Sono saat diwawancarai. Di usianya yang sudah menginjak 71 tahun, ia masih tetap gigih mengayuh becaknya untuk menawarkan jasa transportasinya. Mulai jam 06.00 WIB ia sudah mulai mengayuh becaknya meninggalkan rumahnya yang terletak di daerah Kota Baru. Ia barulah kembali ke kediamannya saat pukul 20.00 WIB. Begitulah beliau sehari-hari. Mengenai penghasilannya Sono sendiri mengaku pasrah pada nasib hariannya. “Sehari biasanya saya mendapat Rp. 5.000 sampai Rp. 10.000-an tetapi terkadang pula saya tidak mendapat apa-apa sama sekali,” ujarnya dengan wajah memprihatinkan. Beliau yang setiap harinya mengais rejeki di sekitar daerah Malioboro ini menceritakan juga bahwa ia terkadang mengalami kesulitan. “Tukang becak sangat banyak sedangkan masyarakat pun mulai enggan menggunakan jasa transportasi roda tiga. Kebanyakan mereka lebih suka menggunakan jasa transportasi bus, taksi, angkot, ojek, atau kendaraan pribadi. Hanya orang-orang tertentu saja yang masih menggunakan jasa transportasi becak,jelasnya singkat. Bagi Sono tidak mudah menjalani hidup seperti ini.
           Di satu sisi, apa yang dialami oleh tukang becak lain, Surtino, ternyata tak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Sono. Meskipun ia masih lebih kuat dari Sono namun nyatanya lelaki berusia 26 tahun ini dapat meraup hasil yang hanya berbanding tipis dengan Sono. “Saya biasanya sehari minimal mendapat Rp. 10.000-an, maksimalnya Rp. 15.000-an, ujarnya. Lelaki yang telah memiliki istri dan dikaruniai satu putra ini mengaku bahwa apa yang ia peroleh masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Kehadiran mereka di tengah keramaian kota dengan menawarkan jasa transportasi roda tiga demi mempertahankan hidup ternyata menimbulkan berbagai pendapat masyarakat. “Saya merasa kasihan terhadap mereka apa lagi yang sudah lanjut usia. Berkali-kali saya bertemu dan menggunakan jasa transportasi mereka. Saya pikir biarlah saya merelakan beberapa rupiah saya ini untuk mereka karena nampaknya mereka yang sudah lanjut usia ini lebih membutuhkannya daripada yang lain,” ujar Sri, seorang ibu rumah tangga. Berbeda dengan Tarmi. “Sebenarnya saya juga kasihan tapi kalau menggunakan jasa transportasi becak maka untuk sampai ke tempat tujuan akan memakan waktu yang agak lama apalagi kalau pengayuhnya sudah lanjut usia atau kalau saat jalanan padat,” begitulah ujar gadis muda ini. Ada pun Samin, seorang tukang parker,  mengatakan kalau para tukang becak terkadang berulah. “Saya berharap supaya Satpol PP dapat menertibkan para tukang becak ini karena terkadang tempat yang seharusnya digunakan untuk parkiran motor mereka gunakan juga untuk parkiran becak mereka,” tukasnya.
Apapun tanggapan masyarakat, dengan keadaannya sekarang, Surtino memiliki harapan yang tak jauh berbeda dengan harapan Sono, yaitu agar mereka para penawar jasa transportasi roda tiga alias becak dapat sungguh-sungguh diperhatikan. Utamanya oleh pemerintah dan masyarakat. Bagaimana caranya agar kantong mereka dapat terisi dengan rupiah yang cukup demi kelangsungan hidup mereka.

ANGGA, KEBAYA MERAH, DAN IWAN FALS


 Oleh: Diyan Krisnawati

Siapa yang tidak kenal artis kawakan, Iwan Fals yang banyak digandrungi oleh penikmat musik Indonesia terutama kaum adam . Lagu- lagunya yang sarat akan jeritan hati rakyat ini membuat Iwan Fals seakan- akan  menjadi raja bagi para wong cilik. Dan salah satu penggemar beratnya adalah Angga, pria kelahiran Bogor 27 Juli 1987. Ketika ditanya kenapa menyukai Iwan Fals,  A’ang, begitulah ia biasa dipanggil, langsung menjawab, soalnya beliau wakil rakyat kecil, dia seorang inspirator hebat, dan orang yang sederhana.” Pria berlatar belakang suku Betawi ini mulai merintis organisasi pecinta Iwan Fals sejak ia duduk di bangku SMP. Dia tidak sendiri, dia ditemani dengan empat orang temannya yaitu Edi, Picung, Doyok, dan Q’cot. “Organisasi ini kami namai Kebaya Merah. Diambil dari salah satu judul lagu Iwan Fals yang isinya bercerita tentang seorang anak yang berusaha membanggakan ibunya, sama halnya dengan kami, kami selalu berusaha menjadi anak dan orang yang lebih baik bagi orang tua dan orang lain. Kebaya Merah sekarang beranggotakan 31 orang yang hanya terdapat dua perempuan di dalamnya, maklum penggemar Iwan Fals memang dominan pria.
Organisasi yang dikukuhkan Mei 2010 lalu ini diketuai oleh Edi. Kehadiran sosok Iwan Fals sangat membantu mereka dalam menjalankan kehidupan yang dirasa semakin berat. Iwan Fals bukan sekedar penghibur bagi mereka, ia adalah suara hati mereka. “Pertama kali saya lihat Bang Iwan itu di TV waktu saya masih SD, sejak itu saya jatuh cinta sama Bang Iwan,”  kata A’ang yang mengumpulkan pernak-pernik berbau Iwan Fals sejak ia bujang sampai sekarang ini. Sudah banyak kegiatan yang Kebaya Merah lakukan seperti membuat kaos, stiker, pertandingan futsal antar organisasi pencinta Iwan Fals, marawis, dan teater. “Kami buat stiker dan kaos, hasilnya kami sumbangkan ke lembaga sosial yang membutuhkan”.
Mereka menyadari hidup itu adalah tolong-menolong. Lagi-lagi Bang Iwanlah yang menginspirasi mereka. Ketika ditanya bagaimana jika Iwan Fals menjadi Presiden Indonesia, A’ang pun berkata, “saya dukung 1000% pastinya, beliau tahu bagaimana perasaan kami sekarang, Indonesia akan lebih baik pastinya.” Iwan Fals sempat ditodong untuk mencalonkan diri sebagai presiden Indonesia namun ia selalu menolak.  Alasannya, ia tidak mau terjun ke dunia politik Indonesia yang kotor.
Sosok Iwan Fals yang sederhana dan cuek ini membuat para penggemarnya pun berpenampilan sama seperti beliau. A’ang saat ditemui pun hanya memakai celana pendek dan kaos hitam bertuliskan Iwan Fals. “Hampir semua anggota Kebaya Merah berpenampilan seperti ini, bukan dibuat-buat tapi kami nyaman dengan diri kami yang seperti in,” jelas A’ang lagi. Sosok A’ang sendiri sangat Iwan Fals, keluarga pun mendukung penuh apa yang sedang ia lakukan. Bukan hanya sekedar menjadi penggemar melainkan inilah jalan hidupnya sekarang.
Banyak pengalaman yang ia dapat selama ia mengikuti jejak Iwan Fals. Seperti menonton konser Bang Iwan di Cibodas dengan harga tiket sebesar Rp. 50.000,00 yang memaksa A’ang dan kawan- kawan tidak makan supaya uangnya cukup untuk ongkos pulang. Padahal jarak Pondok Ranggon-Cibodas sangatlah jauh. Kesukaannya pada Iwan Fals juga terlihat dari semua hewan peliharaannya yang diberi nama Oi semua. Contohnya bebek Oi, ikan Oi, dan burung Oi.

Senin, 17 Januari 2011

Minta Surat untuk Tunjangan

Oleh: Bayu Pamungkas

Jika awal tahun identik dengan antrian pengajuan dispensasi di kantor Wakil Rektor II Universitas Sanata Dharma (USD), ada fenomena lain yang terjadi. Beberapa mahasiswa ternyata memilih antri di depan kantor dekan fakultas masing-masing.

Seperti yang dilakukan oleh Heribertus Oktorio, mahasiswa PGSD USD, pada Jum’at (7/1/2011). Alasan tindakannya adalah, ”saya sebenarnya juga kurang mengerti dengan apa yang disuruh bapak saya, bapak hanya menyuruh saya meminta Surat Keterangan Masih Kuliah” kata mahasiswa PGSD yang akrab disapa Rio ini.

Lain halnya Christoporus Estu, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, saat ditemui pada Sabtu (8/1/2011), yang mengaku bahwa dirinya meminta surat keterangan masih kuliah guna mendapatkan tunjangan pendidikan dari pemerintah. ”Ibu saya bekerja di salah satu instansi pemerintah di Solo, saat awal tahun seperti ini memang biasanya disuruh meminta surat keterangan masih bersekolah. Kata ibu nanti mendapatkan tunjangan pendidikan.” imbuh estu.

Dalam rangka mengkonfirmasi, saya menemui Agnes Lucia, salah satu sekretaris administrasi di Dekanat Fakultas PGSD USD. “Dalam minggu ini (3/1/2011 – 7/1/2011) memang sudah ada kira-kira 61 mahasiswa yang meminta surat keterangan masih kuliah” katanya.

”Kebanyakan dari mahasiswa ketika saya tanya untuk apa surat tersebut mereka mengaku untuk mendapatkan tunjangan pendidikan” imbuh Agnes. ”Meski demikian, tunjangan dari pemerintah tidaklah seberapa, untuk membayar uang semester di Universitas Sanata Dharma mungkin sepertiganya” tuturnya. Harapan Agnes, mahasiswa Universitas Sanata Dharma harus tetap bisa melanjutkan studi. Memang, biaya administrasi untuk perkuliahan begitu mahal tetapi itu harusnya bukan menjadi penghambat melainkan pendorong bagi mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa Di USD harus pintar-pintar memanfaatkan peluang yang ada, seperti beasiswa, tunjangan dari pemerintah, bahkan dispensasi yang diberikan oleh kampus.

NURIYANI, TAK PERNAH LETIH MEMOTIVASI SISWA


Oleh Vania Williany

Senja belum juga merapat di ufuk barat desa Karangkobar, pada hari keenam bulan Januari awal tahun ini. Kawasan jalan raya depan pasar yang menjadi pusat keramaian desa ,masih disibukkan oleh kendaraan roda dua yang berlalu- lalang. Di sebuah rumah berukuran cukup besar yang terletak di pinggir jalan raya, tepat di belakang toko Maju itulah, Nuriyani tinggal selama mengabdi sebagai seorang guru. Ia telah menetap di sana cukup lama, semata untuk mengabdikan diri sebagai salah seorang pahlawan tanpa tanda jasa, dengan menyewa sebuah kamar kos. Ia tinggal berdua dengan sang pemilik rumah yang tak lain adalah teman karibnya sejak dahulu. Nuriyani tampak sibuk senja itu, dengan potongan-potongan kertas koran yang berserakan di meja ruang tamu.

“Silakan duduk, saya sambil nyambi ya,” ujar Nuriyani sembari tersenyum ramah. Ia tampak asyik menggunting potongan kertas koran dan majalah, kemudian menyusunnya dengan rapi di halaman- halaman sebuah buku. “Beginilah kalau ibu guru sedang ada kesempatan, lumayan, saya bisa mengerjakan hobi mengumpulkan kliping masakan seperti ini,” wanita yang lahir di Blora ini menjelaskan. Maklum, pada hari-hari awal masuk sekolah di semester genap SMP Negeri 1 Karangkobar, Nuriyani belum begitu disibukkan oleh tugas-tugas dari instansi pendidikan tempat beliau bekerja tersebut.

Tak lama, wanita bernama lengkap Siti Nuriyani ini bersedia untuk berbagi cerita mengenai berbagai pengalaman yang beliau dapatkan selama kurang lebih dua puluh tahun bekerja sebagai seorang pendidik. “Saat ini saya mengajar mata pelajaran IPS di SMP Negeri 1 Karangkobar,” ucapnya. “Saya mengawali karir dengan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan dari Universitas Surabaya, lulus tahun 1989. Yah, saya ini sudah tua juga, sebaya dengan ibumu,” Nuriyani bergurau. Ketika ditanya mengenai awal mula mengapa beliau berminat menjadi seorang guru, beliau pun berkisah. “Alasan saya memilih menjadi seorang guru, begitu kan? Hm, sebenarnya saya dipaksa. Ya, awalnya saya dipaksa oleh keluarga, barangkali. Haha,” Nuriyani tertawa. “Karena dahulu mbah putri saya kanseorang guru SD, orangtua kemudian mengarahkan saya untuk menjadi seorang guru, kira- kira seperti itu. Bapak saya sendiri seorang TNI Angkatan Laut. Walaupun begitu seluruh keluarga mendukung kok saya bekerja menjadi seorang guru,” lanjutnya lagi. Kedua mata beliau menerawang mengenang cita- cita masa kecilnya. “ Sebenarnya cita- cita awal saya adalah, saya ingin, menjadi seorang jaksa. Ingin sekolah hukum, di Unair Surabaya. Tetapi tidak kesampaian, ya sudahlah tidak apa- apa. Itu cita- cita saya dahulu. Kalau sekarang saya sudah senang menjadi guru, saya menikmati sekali pekerjaan saya ini,” lanjut Nuriyani lagi.

Lebih jauh, Nuriyani yang lahir di Blora pada 31 Januari 1966 ini, memaparkan suka duka beliau menjadi seorang tenaga pendidik. “Sukanya… wah menurut saya, menjadi seorang guru itu senang terus, deh! Tidak ada dukanya!” serunya cepat. Raut wajah beliau berbinar- binar. Tampak jelas bahwa beliau benar- benar mencintai profesi guru yang ditekuninya selama ini. “Yah.. Senang terus menjadi seorang guru karena setiap tahun muridnya selalu berganti, jadi untuk diri saya pribadi, saya tak pernah bosan dalam mengajar mereka. Saya senang berinteraksi dengan anak- anak yang perilakunya bermacam- macam. Ada yang baik, yang rajin, pinter, nakal, bandel, malas, ah macam- macam sekali. Jadi mengajar mereka itu merupakan satu pengalaman yang menyenangkan untuk saya, karena sebagai guru, kita, dituntut harus bisa mendidik mereka dengan baik,” sambil tersenyum beliau berkata. “Dukanya.. Paling kalau ada murid yang nilainya di bawah KKM (ketuntasan kompetensi minimal) lalu saya minta mereka untuk ikut remidi. Nah, sudah diremidi berkali- kali itu nilainya nggak tuntas-tuntas. Wah, saya kadang jadi bingung mengatasinya bagaimana, karena mereka itu sebenarnya bisa, hanya malas belajar saja. Bahkan ada pula siswa yang malas datang siang- siang buat ikut remidi sampai berani membolos. Itu yang terkadang bikin saya capek,” Nuriyani kembali tertawa ketika mengungkapkan pengalaman berkesan yang pernah beliau  rasakan dalam mendidik para siswa.

Meskipun Nuriyani mendapatkan tugas dinas pertama sebagai guru di Surabaya, namun pada tahun 1996, beliau hijrah ke SMP Negeri 1 Karangkobar untuk meneruskan pekerjaannya sebagai pengajar. Lho, bagaimana ini, Bu, sudah enak- enak mengajar di kota,kok mau-maunya Anda dipindahtugaskan untuk mengajar di desa seperti Karangkobar? Pertanyaan seperti ini muncul setelah mendengar perjuangan Nuriyani yang tak mudah untuk menggapai cita- citanya  menjadi pendidik andal. “Alasan saya pindah dinas di sini sebenarnya karena mengikuti kepindahan suami ke Karangkobar. Sebagai Pegawai Negeri suami saya mendapat tugas penempatan dari tingkat provinsi untuk beliau bekerja di wilayah ini,” begitulah penjelasan beliau. Kepindahan beliau ke Karangkobar ternyata  semata- mata demi tujuan mengabdi. Konsekuensi yang harus beliau ambil untuk mencerdaskan putra- putri bangsa. Nuriyani mengungkapkan, dengan keputusan beliau bertahan untuk mengajar di SMP Negeri 1 Karangkobar, segala risiko harus rela beliau jalani, Termasuk untuk berpisah dengan keluarga tercinta. “Dahulu anak- anak juga ikut kami, mereka pindah sekolah kemari. Kami sekeluarga tinggal bersama cukup lama. Kemudian anak- anak mulai besar, Saya rasa mereka butuh pendidikan yang lebih bagus. Untuk itu kami memutuskan, anak- anak pindah bersekolah di luar kota. Kami menginginkan mereka dapat mengenyam pendidikan di tempat yang memiliki mutu  yang lebih baik,” kenang Nuriyani. Sekarang kedua putra beliau sedang melanjutkan pendidikan mereka, salah seorang di antaranya sedang bersekolah di Salatiga, yang lainnya kini bersekolah di Ungaran. “Suami saya di Semarang, sekarang bekerja di sana,” ungkap Nuriyani lagi.

Tinggal berjauhan dengan keluarga tak membuat Nuriyani berhenti berjuang untuk memajukan pendidikan di sekolah tempat beliau membagi ilmu pada siswa tercinta, saat ini. Justru beliau semakin bersemangat untuk memberikan pelayanan pendidikan yang terbaik bagi seluruh peserta didik. Beliau mengakui, para siswa yang beliau asuh  di SMP Negeri 1 Karangkobar memiliki karakter yang agak berbeda apabila dibandingkan dengan siswa di daerah perkotaan. “Ya, memang keadaan di sekolah ini , bisa dibilang di sini termasuk wilayah pedesaan, seperti itulah adanya. Input siswa di sekolah ini tidak sama. Karakter siswa berbeda kalau dibandingkan dengan “anak kota”, yang rata- rata sudah merasa dirinya benar- benar menjadi seorang siswa, memiliki tanggungjawab untuk belajar. Karakteristik siswa di sekolah ini lebih beragam. Biasanya karakter mereka terbentuk dari latar belakang keluarganya, juga turut dipengaruhi oleh latar belakang lingkungan,” tegas beliau. Perbedaan karakter masing- masing siswa inilah yang membuat etos belajar para siswa juga berbeda- beda. Beliau memberi beberapa contoh. “Di sekolah ini ada siswa yang orangtuanya bekerja sebagai petani, ada pula yang orangtuanya pegawai, atau punya bisnis alias wiraswasta, yah, variatif sekali. Latar belakang pekerjaan orangtua mereka ikut mempengaruhi cara belajar dan minat siswa untuk belajar. Misalnya, ada siswa yang orangtuanya seorang pekerja kasar dan tinggal di desa. Sebagai orangtua, mereka masih berpikir sempit,  dengan asal menyekolahkan anaknya saja, tetapi kurang mengawasi perkembangan anak dalam belajar. Anak jadi kurang bersemangat untuk belajar karena orangtuanya sendiri kurang memberikan dukungan. Orangtua mereka berpikir, asal tamat SMP, sudah pernah mengenyam pendidikan menengah, sudah lebih baik dari pendidikan orangtua, itu selesai. Kalau ada biaya oke,lanjut sekolah menengah atas, kalau  tidak ada biaya ya tak bisa lanjut, sudah begitu. Pikiran seperti itu sebetulnya menghambat minat mereka untuk belajar. Di sinilah guru berperan untuk mendukung perkembangan belajar mereka, memberi masukan, serta semangat pada siswa agar siswa itu mau terus belajar, mau dan terus memiliki minat yang tinggi untuk maju. Sekolah juga memberikan pengertian pada orangtua dalam pertemuan khusus, ketika pembagian raport misalnya. Agar mereka senantiasa memantau perkembangan pendidikan putra- putri masing- masing. Kami mencoba menjelaskan bahwa pendidikan itu adalah suatu hal yang sangat penting, yang kelak akan mengantar siswa kami berhasil meraih cita- cita,” Nuriyani menjelaskan panjang lebar, “Di sisi lain, ada pula orangtua siswa yang sudah mengerti pentingnya pendidikan untuk putra- putri mereka, sehingga mereka sudah mulai memantau perkembangan prestasi anaknya. Biasanya orangtua yang bekerja swasta atau pegawai yang rata-rata juga sudah punya dasar pendidikan yang bagus, gelar dari Perguruan Tinggi, misalnya, yang sudah dapat mengarahkan putranya agar dapat belajar sebaik mungkin. Kami juga terus mendorong mereka untuk senantiasa menjaga prestasi dan lebih bersemangat lagi dalam mengembangkan potensi diri,” tambah Nuriyani.

Berbicara soal potensi masing- masing siswa SMPN 1 Karangkobar, Nuriyani kembali menegaskan bahwa sebenarnya seluruh siswa di SMP Karangkobar mempunyai potensi yang sama dengan siswa- siswa di sekolah- sekolah lain untuk bisa mengembangkan diri. Satu poin penting ditekankan betul- betul oleh beliau, “Mereka masih sangat butuh motivasi. Motivasi inilah yang kita, para guru, harus benar- benar, terus berikan. Motivasi dari para guru sangat penting untuk memajukan siswa.”

Mengenai cara pembelajaran yang beliau terapkan selama mengajar, Nuriyani memiliki beberapa strategi khusus. “Jujur saja, cara mengajar yang saya terapkan dalam membimbing para siswa tidak manut teori atau kurikulum yang disusun Pemerintah saat ini. Kalau cara mengajar saya manut kurikulum satuan pendidikan, ya tidak bisa, bubrah kabeh, (rusak semua, red.), tidak jadi semua,” lagi- lagi senyuman terlukis di bibir Nuriyani. “Menurut kurikulum yang didesain oleh Pemerintah, saat ini guru hanya mendampingi siswa, sebagai fasilitator, begitu. Guru hanya memberi tugas, anak mengerjakan tugas tersebut secara mandiri dari sumber- sumber yang mereka cari sendiri. Cara itu kurang tepat jika diterapkan pada siswa didik saya. Lingkungan belajar di sini kurang mendukung. Siswa masih malas untuk membaca materi secara mandiri. Harus disuruh guru lebih dahulu,” ungkapnya. Mau tak mau, Nuriyani harus membimbing mereka secara perlahan- lahan. “Saya melakukan cara pengajaran tradisional. Saya menerangkan lebih dahulu materi pelajaran secara keseluruhan, siswa mendengarkan, sampai seluruh siswa mengertiApabila ada pertanyaan dari siswa, saya jawab sampai semuanya jelas, barulah saya memberikan tugas kepada siswa. Kalau menerapkan kurikulum, materi jelas tidak bisa selesai,” ujar Nuriyani.

Perjuangan Nuriyani beserta dewan guru di SMP Negeri 1 Karangkobar kini mulai membuahkan hasil. Terbukti, sejak dua tahun lalu, SMP Negeri 1 Karangkobar telah sukses menyandang gelar “Sekolah Standar Nasional” (SSN), dan menjadi salah satu sekolah berprestasi yang sering menyabet berbagai kejuaraan di tingkat Kabupaten Banjarnegara. “Puji syukur kepada Tuhan, gelar SSN kini berhasil kami raih, karena kelulusan siswa 100% selama beberapa tahun berturut- turut. Ini suatu kebanggaan bagi kami, keluarga besar SMP Negeri 1 Karangkobar,” jelas beliau. Pengabdian Nuriyani yang tanpa henti memang pantas mendapatkan acungan jempol. Namun beliau tak ingin tinggi hati, “Hal terindah, yang kami, para guru rasakan, adalah jika para siswa dapat menyerap ilmu yang kami berikan. Itu menjadi kebanggaan yang luarbiasa bagi kami. Sebagai guru, sudah menjadi tugas kami untuk mentransfer ilmu kepada mereka. Pendidikan yang berhasil, menurut saya, adalah apabila para siswa menerima ilmu dengan baik dan mereka tidak menyia- nyiakan ilmu yang telah mereka dapat. Jika para siswa mampu mengerti dan mengaplikasikan ilmu yang telah mereka terima, maka saya yakin, mereka akan menjadi insan- insan luhur di kemudian hari,” demikian pendapat beliau.

Nuriyani menutup wawancara dengan berbagi kisah mengenai pengalaman menarik yang pernah beliau alami bersama mantan-mantan muridnya, alumni SMP Negeri 1 Karangkobar. “Saya memiliki beberapa murid yang dahulu terkenal “bandel” waktu masih jadi pelajar. Beberapa tahun berikutnya, saya melihat mereka menyapa saya. Mereka telah menjadi orang yang berhasil. Ada yang sudah selesai S2 dan menjadi dosen, ada pula yang sukses berwirausaha. Rasanya senang sekali ketika melihat murid- murid saya dapat meraih kesuksesan. Itu suatu kebahagiaan terindah buat saya, sebagai guru,” ungkapnya menahan haru. Nuriyani kembali melanjutkan, “Ada pula sebagian murid saya yang tidak dapat melanjutkan sekolah, ada pula yang setelah menamatkan SMP sudah langsung bekerja. Sebagai guru, saya merasa sedih melihat keadaan mereka. Namun ketika saya melihat ada satu semangat di mata mereka, saya tetap merasa bangga terhadap mereka. Bagaimanapun, sebagai seorang guru saya selalu mendoakan yang terbaik untuk keberhasilan seluruh siswa saya.”

Kerja keras Nuriyani sebagai seorang guru memang patut kita teladani. Meskipun harus hidup terpisah dengan keluarga, beliau tak pernah letih dalam mengajar dan memotivasi siswa. Semangat beliau tak pudar, malah sebaliknya semakin berkobar untuk tetap bertahan mengabdikan diri demi kemajuan para siswa yang beliau cintai. “Meskipun saya terkadang merasa sedih dan rindu pada keluarga, saya tetap bersemangat untuk mengajar di Karangkobar. Saya ingin anak- anak di sini semakin dapat menikmati pendidikan yang lebih baik,” Nuriyani mengakhiri wawancara dengan senyuman manisnya.

Pesona Awul-Awul

Oleh: C. Anindya Putri      

Pada awal Januari 2011, alun-alun utara Yogyakarta telah disulap menjadi arena Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS). Meskipun belum diresmikan oleh Gubernur DIY, beberapa pengunjung sudah mulai berdatangan untuk mengunjungi stand-stand yang menawarkan berbagai macam dagangan. Salah satu stand yang ramai dikunjungi adalah kios penjualan pakaian bekas yang biasa disebut ‘awul-awul’. Disebut awul-awul karena sebagian besar pakaian hanya ditumpuk atau disusun secara berserakan. Pakaian yang dijual di awul-awul sebagian besar merupakan barang impor dari Korea, China, dan Jepang. Pasokan pakaian didapat dari Kediri dan pembeliannya dilakukan secara partai besar. Selain di area PMPS, awul-awul juga bisa ditemukan di beberapa daerah di kota Jogja, seperti di Jalan Parangtritis, Jalan Taman Siswa, Ngasem, Yudanegaran, Munggur, Jalan Kaliurang, hingga di daerah Godean. Di awul-awul kita bisa berburu pakaian yang unik atau yang bergaya vintage dengan harga sangat miring. Namun tidak semua pakaian yang dijual di awul-awul adalah baju bagus yang sedap dipandang karena sebagian besar pakaian yang dijual sudah kucel dan apek. Tetapi kalau beruntung, kita bisa menemukan pakaian dengan merek terkenal. 

Salah satu penjaga stand awul-awul di PMPS, Agus, ketika diwawancarai, menyatakan bahwa saat ini pengunjung awul-awul semakin banyak. Biasanya stand awul-awul yang dijaganya ramai dikunjungi pembeli pada hari-hari terakhir menjelang penutupan PMPS karena pakaian yang dijual  harganya semakin miring. Ia juga menambahkan bahwa dengan membuka stand awul-awul di PMPS, dalam sehari ia bisa meraup untung hingga Rp 3.000.000,-. Berbeda dengan toko awul-awulnya yang berada di daerah Yudanegaran. Sehari ia hanya mendapatkan untung Rp 1.000.000,-.

 “Kalau yang ditumpuk harganya sekitar Rp 5.000,- sampai Rp 10.000,- tiap helainya. Biasanya berjenis kaos, kemeja, rok, dan juga celana. Sedangkan pakaian yang digantung biasanya lebih sedikit cacatnya dan bisa dibilang bagus. Harganya ya lebih mahal, sekitar Rp 15.000,- sampai Rp 35.000,-. Kalau jaket, sweater, blazer, dan jas harganya lebih mahal lagi,” terangnya .

Kegiatan berburu pakaian di awul-awul kini kian digemari oleh kaum muda. Mereka tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan pakaian yang unik dan terkesan jadul. Salah satu penggemar awul-awul, Christina Dhea, mengungkapkan bahwa hobinya berburu baju vintage di awul-awul dimulai sejak setahun yang lalu. “Saya suka sekali dengan vintage style. Di awul-awul saya bisa mendapatkan barang yang berkualitas dan tidak pasaran.  Bisa menemukan barang oke dengan harga murah, why not?” ujar mahasiswi PBI Universitas Sanata Dharma ini.

Begitu juga Fransiska Novieta, mahasiswi FEB Universitas Gajah Mada, ia mengungkapkan kegemaran ngawulnya itu berawal dari keisengan yang membuatnya menjadi ketagihan. “Saya suka ngawul karena barang yang dijual di awul-awul unik dan vintage. Selain itu harganya juga murah. Bagi saya, ada kepuasan tersendiri ketika mendapatkan barang bagus dengan harga murah.”

PASARAN KARANGKOBAR, TRADISI YANG MASIH LESTARI

Oleh Vania Williany      
  
Hari pasaran merupakan salah satu contoh budaya lokal yang masih dihormati oleh kalangan masyarakat Jawa, khususnya  warga Jawa Tengah, hingga masa sekarang. Masyarakat mengenal adanya lima hari dalam penanggalan Jawa: Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing. Sesuai tradisi yang berkembang sejak zaman dahulu, banyak daerah di Jawa Tengah menyelenggarakan pasar tradisional hanya pada hari- hari tertentu saja, berdasarkan perhitungan penanggalan Jawa yang tepat dengan keadaan masing- masing daerah.


Hal tersebut mendorong kemunculan fenomena pasar tradisional mingguan yang tersebar di beberapa wilayah di Jawa Tengah, seperti Pasar Legi di Parakan dan Wonosobo, Pasar Kliwon di Temanggung, Pasar Pahing di Magelang, dan lain- lain. Namun sayang, seiring waktu berjalan, eksistensi pasar mingguan tersebut semakin memudar. Pada umumnya pasar tradisional “masa kini” sudah tidak lagi mengenal hari pasaran.
Akan tetapi, fenomena berbeda dapat ditemui di wilayah Desa Karangkobar, Kecamatan Karangkobar,  Kabupaten Banjarnegara. Di kota kecamatan berhawa sejuk yang terletak sekitar 30 km dari Kabupaten Banjarnegara ini, tradisi hari pasaran masih terasa kental.

Pasar Karangkobar memiliki dua hari pasaran dalam satu minggu, yakni Legi dan Pon. Jika hari pasaran tiba, Pasar Karangkobar akan lebih ramai daripada biasanya. Sudah menjadi tradisi sejak puluhan tahun lalu, bahwa setiap hari pasaran Legi dan Pon, sebagian besar warga desa Karangkobar dan sekitarnya akan meramaikan pasar tradisional tersebut dengan aktivitas berdagang maupun berbelanja. Walaupun banyak di antara mereka berasal dari desa yang jaraknya cukup jauh dari pasar, mereka tetap bersemangat untuk melakukan kegiatan jual- beli di sana.

Seperti pada hari Rabu Pon, (5/11) lalu, pasar Karangkobar tampak sangat ramai oleh para pedagang maupun pengunjung. “Saya berjualan di Pasar Karangkobar pada hari pasaran saja, Legi dan Pon,” ujar Sugiono, seorang penjual jilbab yang rutin mangkal di depan kios kelontong. Ditemui di sela-sela kegiatannya melayani pembeli, pria asal Desa Leksana, Karangkobar, ini memberi penjelasan. “Saya ke sini hanya pada hari pasaran, karena tujuan saya berdagang jilbab ini ya pas hari pasaran saja. Sudah delapan tahun saya bekerja seperti ini. Kalau hari pasaran kan, ramai pengunjung. Orang- orang desa pergi belanja ke pasar semua. Harapan saya biar dagangan ini laris. Saya berpindah- pindah tempat untuk berjualan setiap hari, tidak hanya di Pasar Karangkobar. Kecamatan Karangkobar sendiri terdiri dari banyak desa, hari pasarannya juga berbeda-beda. Yah, mengikuti hari pasaran tiap-tiap desa sajalah. Kalau hari Pahing, saya berjualan di Batur, hari Kliwon saya mangkal di Kalibening, dan Wage saya berada di Panusupan. Jualan saya berpindah- pindah tetapi rutin,” ungkapnya panjang-lebar.

Sugiono menambahkan, “Hari pasaran di Pasar Karangkobar memang selalu ramai seperti ini. Bahkan menurut saya, di sini paling ramai. Mungkin karena di wilayah Banjarnegara bagian atas, Karangkobar sudah terkenal sebagai kota transit. Ditambah lagi, Karangkobar juga dikenal sebagai kota agropolitan, atau kota penyalur sayur-mayur. Jadi, banyak orang berkunjung ke pasar ini."


Sebagai warga Karangkobar yang sering berbelanja di pasar, Nunung, seorang guru di sebuah sekolah negeri di Karangkobar, menyatakan, “Sudah dari dua puluhan tahun lalu sejak saya pindah dan menetap di Karangkobar, pasar ini ramai. Bila dibandingkan dengan keadaan sekarang, Pasar Karangkobar semakin ramai. Dahulu, hari pasarannya hanya Legi saja. Hari Pon tidak seramai sekarang.”

Perkembangan teknologi dan transportasi merupakan beberapa faktor yang menyebabkan hari pasaran di Pasar Karangkobar semakin ramai. “Dahulu, bangunan pasar belum sebagus sekarang. Kios-kios yang menjual berbagai barang pokok pun masih jarang. Alat transportasi umum susah didapat, jalan raya pun belum sebaik sekarang,” Nunung bercerita. Kendaraan umum baru beroperasi saat hari pasaran tiba, sehingga mau tidak mau warga desa hanya bisa berbelanja ke pasar pada hari pasaran. Nunung berpendapat, hal itulah yang menyebabkan tradisi hari pasaran berkembang dengan baik di Karangkobar. “ Seiring perkembangan zaman, Pasar Karangkobar sudah dibangun oleh pemerintah, kios-kios yang buka setiap hari juga bertambah. Jalan raya sudah diaspal. Transportasi umum seperti bus mikro dari dan menuju desa-desa sekitar Karangkobar semakin banyak, terutama pada hari pasaran. Warga desa semakin mudah untuk pergi ke pasar dan mendapatkan kebutuhan mereka. Komoditas yang dijual oleh para pedagang menjadi semakin beragam pula untuk memenuhi permintaan konsumen,” Nunung menanggapi.

Sugiono berpendapat bahwa tradisi hari pasaran harus dilestarikan oleh seluruh masyarakat Kecamatan Karangkobar. “Saya kira tradisi hari pasaran ini perlu dipertahankan. Menurut saya, karena pasaran ini sudah menjadi tradisi sejak dahulu, sudah turun-temurun berlangsung. Ditambah lagi, tradisi hari pasaran ini juga mempengaruhi perekonomian masyarakat sekitar. Karena keadaan pasar yang ramai pas hari pasaran, tingkat pendapatan penjual juga meningkat.” Faktanya memang demikian. Bila dibandingkan dengan hari biasa, keramaian hari pasaran di Karangkobar membawa dampak positif bagi para pedagang. Omzet penjualan mereka bahkan dapat mencapai dua kali lipat lebih besar daripada hari biasa. Sugiono mengakui hal tersebut. “Maka dari itu hari pasaran perlu dilestarikan. Bagi pedagang seperti saya, rezeki memang tak tentu datangnya. Tapi bisa dilihat sendiri, kalau tidak pasaran, Pasar Karangkobar ini biasa-biasa saja, sepi-sepi saja. Pengunjung pasar sedikit. Kalau pas pasaran barulah ada keramaian, transaksi jual-beli banyak. Istilahnya kalau pasaran, Karangkobar ini benar- benar jadi pasar,” tutur Sugiono.

Wahyudi Halim, seorang pedagang di sebuah kios tetap di depan pasar yang menyediakan kebutuhan sehari- hari menyatakan ia juga setuju bahwa tradisi hari pasaran harus tetap dilestarikan. “Ya memang, tradisi pasaran harus dilestarikan. Karena keuntungan yang kios saya peroleh saat hari pasaran jauh lebih besar daripada hari biasa. Pada prinsipnya, hari pasaran itu berpengaruh sekali terhadap pendapatan pedagang.” Wahyudi mengatakan, untuk memenuhi permintaan konsumen yang meningkat pada hari pasaran, ia harus kulakan (membeli untu menjual kembali, red) barang-barang yang lebih banyak. “Saya harus mempunyai persediaan barang untuk persiapan pasaran,” ujarnya. Lebih jauh lagi, pedagang yang baru dua tahun berjualan di pasar ini menjelaskan, “Bagi saya pribadi, tradisi hari pasaran di Karangkobar ini sangat unik. Bisa dikatakan tradisi ini langka. Sebab, sepengetahuan saya, yang namanya hari pasaran sudah tidak berlangsung sama sekali pada masa sekarang. Coba kita bandingkan dengan keadaan Pasar Legi di Parakan, misalnya. Saya pernah menetap cukup lama di sana tetapi tidak ada keramaian yang berarti saat hari Legi tiba. Sampai sekarang tetap begitu. Pasaran di kota- kota lain biasa saja, tidak seramai di Karangkobar ini. Saya sendiri yang bukan asli orang sini merasa heran, lucu juga ya, kok bisa demikian, tetapi saya merasa kagum, masyarakat Karangkobar begitu kokoh mempertahankan tradisinya,” ucapnya sembari tersenyum.

Nunung memiliki pendapat yang sedikit berbeda. Ia berkomentar, “Menurut saya apabila dilihat dari sisi konsumen, sebenarnya hari pasaran sudah tidak terlalu berpengaruh lagi seperti dahulu. Buktinya, Pasar Karangkobar ini termasuk pasar yang ramai terus setiap hari. Karena setiap hari ada kios buka, kebutuhan sehari-hari warga seperti saya sudah tersedia. Jadi warga yang tempat tinggalnya dekat dengan pasar lebih memilih pergi ke pasar setiap hari, untuk berbelanja kebutuhan dapur yang lebih segar. Kalau hari pasaran mungkin warga berbelanja kebutuhan tertentu saja.” Keadaan pasar yang sangat ramai saat hari pasaran tak lepas dari kritiknya. “Kalau pasar terlalu ramai kadang-kadang jalan raya menjadi sangat padat, bahkan sampai menimbulkan kemacetan sehingga lalulintas harus dialihkan ke jalan lain. Sampah juga berserakan di mana- mana. Itu cukup mengganggu,” keluhnya.  Ia berharap masalah-masalah tersebut dapat ditangani bersama oleh seluruh warga masyarakat Karangkobar beserta pengelola pasar. “Harus ada kerjasama dari semua pihak. Tetapi tradisi hari pasaran memang layak dilestarikan,” ujarnya mengakhiri pembicaraan.