Sabtu, 05 Februari 2011

REJEKI PARA PENGAYUH RODA TIGA


Oleh: Rinaldus Beatus Jo

Saya ingin terus berusaha mengayuh meskipun terkadang untuk membeli makan sehari saja tidak cukup. Semoga pemerintah dapat melihat penderitaan ini dan bukan hanya sekedar itu saja tetapi mampu memberikan bantuan untuk mengatasinya”

           Begitulah ujar Sono saat diwawancarai. Di usianya yang sudah menginjak 71 tahun, ia masih tetap gigih mengayuh becaknya untuk menawarkan jasa transportasinya. Mulai jam 06.00 WIB ia sudah mulai mengayuh becaknya meninggalkan rumahnya yang terletak di daerah Kota Baru. Ia barulah kembali ke kediamannya saat pukul 20.00 WIB. Begitulah beliau sehari-hari. Mengenai penghasilannya Sono sendiri mengaku pasrah pada nasib hariannya. “Sehari biasanya saya mendapat Rp. 5.000 sampai Rp. 10.000-an tetapi terkadang pula saya tidak mendapat apa-apa sama sekali,” ujarnya dengan wajah memprihatinkan. Beliau yang setiap harinya mengais rejeki di sekitar daerah Malioboro ini menceritakan juga bahwa ia terkadang mengalami kesulitan. “Tukang becak sangat banyak sedangkan masyarakat pun mulai enggan menggunakan jasa transportasi roda tiga. Kebanyakan mereka lebih suka menggunakan jasa transportasi bus, taksi, angkot, ojek, atau kendaraan pribadi. Hanya orang-orang tertentu saja yang masih menggunakan jasa transportasi becak,jelasnya singkat. Bagi Sono tidak mudah menjalani hidup seperti ini.
           Di satu sisi, apa yang dialami oleh tukang becak lain, Surtino, ternyata tak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Sono. Meskipun ia masih lebih kuat dari Sono namun nyatanya lelaki berusia 26 tahun ini dapat meraup hasil yang hanya berbanding tipis dengan Sono. “Saya biasanya sehari minimal mendapat Rp. 10.000-an, maksimalnya Rp. 15.000-an, ujarnya. Lelaki yang telah memiliki istri dan dikaruniai satu putra ini mengaku bahwa apa yang ia peroleh masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Kehadiran mereka di tengah keramaian kota dengan menawarkan jasa transportasi roda tiga demi mempertahankan hidup ternyata menimbulkan berbagai pendapat masyarakat. “Saya merasa kasihan terhadap mereka apa lagi yang sudah lanjut usia. Berkali-kali saya bertemu dan menggunakan jasa transportasi mereka. Saya pikir biarlah saya merelakan beberapa rupiah saya ini untuk mereka karena nampaknya mereka yang sudah lanjut usia ini lebih membutuhkannya daripada yang lain,” ujar Sri, seorang ibu rumah tangga. Berbeda dengan Tarmi. “Sebenarnya saya juga kasihan tapi kalau menggunakan jasa transportasi becak maka untuk sampai ke tempat tujuan akan memakan waktu yang agak lama apalagi kalau pengayuhnya sudah lanjut usia atau kalau saat jalanan padat,” begitulah ujar gadis muda ini. Ada pun Samin, seorang tukang parker,  mengatakan kalau para tukang becak terkadang berulah. “Saya berharap supaya Satpol PP dapat menertibkan para tukang becak ini karena terkadang tempat yang seharusnya digunakan untuk parkiran motor mereka gunakan juga untuk parkiran becak mereka,” tukasnya.
Apapun tanggapan masyarakat, dengan keadaannya sekarang, Surtino memiliki harapan yang tak jauh berbeda dengan harapan Sono, yaitu agar mereka para penawar jasa transportasi roda tiga alias becak dapat sungguh-sungguh diperhatikan. Utamanya oleh pemerintah dan masyarakat. Bagaimana caranya agar kantong mereka dapat terisi dengan rupiah yang cukup demi kelangsungan hidup mereka.

ANGGA, KEBAYA MERAH, DAN IWAN FALS


 Oleh: Diyan Krisnawati

Siapa yang tidak kenal artis kawakan, Iwan Fals yang banyak digandrungi oleh penikmat musik Indonesia terutama kaum adam . Lagu- lagunya yang sarat akan jeritan hati rakyat ini membuat Iwan Fals seakan- akan  menjadi raja bagi para wong cilik. Dan salah satu penggemar beratnya adalah Angga, pria kelahiran Bogor 27 Juli 1987. Ketika ditanya kenapa menyukai Iwan Fals,  A’ang, begitulah ia biasa dipanggil, langsung menjawab, soalnya beliau wakil rakyat kecil, dia seorang inspirator hebat, dan orang yang sederhana.” Pria berlatar belakang suku Betawi ini mulai merintis organisasi pecinta Iwan Fals sejak ia duduk di bangku SMP. Dia tidak sendiri, dia ditemani dengan empat orang temannya yaitu Edi, Picung, Doyok, dan Q’cot. “Organisasi ini kami namai Kebaya Merah. Diambil dari salah satu judul lagu Iwan Fals yang isinya bercerita tentang seorang anak yang berusaha membanggakan ibunya, sama halnya dengan kami, kami selalu berusaha menjadi anak dan orang yang lebih baik bagi orang tua dan orang lain. Kebaya Merah sekarang beranggotakan 31 orang yang hanya terdapat dua perempuan di dalamnya, maklum penggemar Iwan Fals memang dominan pria.
Organisasi yang dikukuhkan Mei 2010 lalu ini diketuai oleh Edi. Kehadiran sosok Iwan Fals sangat membantu mereka dalam menjalankan kehidupan yang dirasa semakin berat. Iwan Fals bukan sekedar penghibur bagi mereka, ia adalah suara hati mereka. “Pertama kali saya lihat Bang Iwan itu di TV waktu saya masih SD, sejak itu saya jatuh cinta sama Bang Iwan,”  kata A’ang yang mengumpulkan pernak-pernik berbau Iwan Fals sejak ia bujang sampai sekarang ini. Sudah banyak kegiatan yang Kebaya Merah lakukan seperti membuat kaos, stiker, pertandingan futsal antar organisasi pencinta Iwan Fals, marawis, dan teater. “Kami buat stiker dan kaos, hasilnya kami sumbangkan ke lembaga sosial yang membutuhkan”.
Mereka menyadari hidup itu adalah tolong-menolong. Lagi-lagi Bang Iwanlah yang menginspirasi mereka. Ketika ditanya bagaimana jika Iwan Fals menjadi Presiden Indonesia, A’ang pun berkata, “saya dukung 1000% pastinya, beliau tahu bagaimana perasaan kami sekarang, Indonesia akan lebih baik pastinya.” Iwan Fals sempat ditodong untuk mencalonkan diri sebagai presiden Indonesia namun ia selalu menolak.  Alasannya, ia tidak mau terjun ke dunia politik Indonesia yang kotor.
Sosok Iwan Fals yang sederhana dan cuek ini membuat para penggemarnya pun berpenampilan sama seperti beliau. A’ang saat ditemui pun hanya memakai celana pendek dan kaos hitam bertuliskan Iwan Fals. “Hampir semua anggota Kebaya Merah berpenampilan seperti ini, bukan dibuat-buat tapi kami nyaman dengan diri kami yang seperti in,” jelas A’ang lagi. Sosok A’ang sendiri sangat Iwan Fals, keluarga pun mendukung penuh apa yang sedang ia lakukan. Bukan hanya sekedar menjadi penggemar melainkan inilah jalan hidupnya sekarang.
Banyak pengalaman yang ia dapat selama ia mengikuti jejak Iwan Fals. Seperti menonton konser Bang Iwan di Cibodas dengan harga tiket sebesar Rp. 50.000,00 yang memaksa A’ang dan kawan- kawan tidak makan supaya uangnya cukup untuk ongkos pulang. Padahal jarak Pondok Ranggon-Cibodas sangatlah jauh. Kesukaannya pada Iwan Fals juga terlihat dari semua hewan peliharaannya yang diberi nama Oi semua. Contohnya bebek Oi, ikan Oi, dan burung Oi.